Pola Komunikasi Menghadapi Wajib Pajak Orang Pribadi

Pemerintah saat ini sedang melakukan reformasi pajak. Salah satu agenda reformasi pajak adalah meningkatkan kepercayaan wajib pajak terhadap institusi perpajakan dengan tujuan untuk meningkatkan kepatuhan pajak.

Untuk menguji kepatuhan wajib pajak dalam sistem self assessment, kantor pajak melakukan imbauan atau pemeriksaan pajak. Jika imbauan atau pemeriksaan pajak ini dilakukan terhadap wajib pajak badan, pengurus perusahaan, umumnya profesional yang ditunjuk pemegang saham, akan memberikan tanggapan atas imbauan atau mempersiapkan permintaan dokumen ketika menghadapi pemeriksaan.

Di lain pihak, jika pengujian tersebut dilakukan kepada wajib pajak orang pribadi, orang pribadi tersebut atau keluarga dari orang pribadi tersebut yang memberikan tanggapan atas imbauan atau mempersiapkan permintaan dokumen ketika menghadapi pemeriksaan.

Menghadapi wajib pajak orang pribadi dengan latar belakang pendidikan, tingkat pengetahuan pajak, keragaman usia (generasi X, Y, dan Z), jenis kelamin, ekonomi, status sosial, dan budaya, cara berkomunikasi petugas pajak harus berbeda dengan wajib pajak badan.

Wajib pajak orang pribadi sering mempunyai latar belakang pengalaman. Bagi mereka, komunikasi persuasif dengan pendekatan personal mempunyai peranan yang lebih penting dalam pemenuhan kewajiban pajaknya dibandingkan pendekatan kekuasaan yang dapat mengakibatkan mereka resisten sejak awal dengan institusi pajak. Oleh karena itu, petugas pajak dari awal diharapkan dapat menciptakan suasana “merangkul” ketika menghadapi wajib pajak orang pribadi dibandingkan dengan menggunakan pendekatan kekuasaan yang dapat mengakibatkan mereka resisten sejak awal dengan institusi pajak.

Pola komunikasi seperti itu sebenarnya sejalan dengan keterangan Presiden sebagaimana dimuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 63/PUUXIV/2016. “Manfaat lain dari Pengampuan Pajak di tataran yang lebih filosofis adalah munculnya harapan akan dimulainya suatu hubungan yang baru antara fiskus dengan wajib pajak, yang pada akhirnya akan memperluas basis data perpajakan dan memberikan manfaat yang luas baik sebagai penerimaan, media pembaharuan sosial, administrasi perpajakan, atau bahkan rekonsiliasi perpajakan nasional.”

B. Bawono Kristiaji (2019) juga berpendapat bahwa tren mengenai hubungan yang kooperatif dan saling transparan antara otoritas pajak dan wajib pajak, penghormatan hak-hak wajib pajak (Bentley, 2007), serta pemahaman bahwa pajak tidak melulu soal penerimaan, jelas membutuhkan pemikiran reflektif dan rumusan pajak yang lebih “ramah” dan mendudukkan wajib pajak dalam posisi yang berperan penting.

Mardiasmo (2016) mengemukakan bahwa kepatuhan dan kepercayaan wajib pajak terhadap institusi perpajakan secara langsung akan meningkatkan penerimaan negara. Alasannya, pajak berfungsi sebagai salah satu sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluarannya sekaligus alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Dengan demikian, pelayanan terhadap wajib pajak orang pribadi tidak hanya dituntut dilakukan oleh petugas pajak yang paham peraturan perpajakan, tetapi juga petugas pajak yang memiliki keterampilan dalam berkomunikasi dengan menggunakan pendekatan personal.

Kesadaran wajib pajak dalam melakukan pembayaran pajak harus dibangun berdasarkan kebutuhan, bukan kewajiban. Pembayaran pajak diperlukan wajib pajak untuk pembangunan dan hasil pembangunan tersebut akan dinikmati seluruh warga negara.

Wajib pajak tentu merasakan manfaat dari pajak yang dibayarkan. Pajak yang ada untuk membuat semua warga negara tersenyum (Mathew, 2013). Terakhir, jangan dilupakan, wajib pajak orang pribadi juga ikut menyumbangkan suara dalam pemilihan umum.


Sumber: Erika. Tulisan ini dimuat di DDTCNews pada 5 Maret 2019